Sebenarnya saya menahan diri untuk menulis tentang fenomena hoax yang katanya sedang ramai. Saya pun sampai sekarang tidak tertarik dengan diskusi atau gerakan melawan hoax. Selain saya pernah menuliskannya, saya juga menahan diri agar tidak ikut memperkeruh suasana. Tapi apa daya, admin LBI 2017 melempar tema "melawan hoax" sebagai tema pekan ke enam Liga Blogger Indonesia.
Hoax, saya langsung ingat film Shattered Glass, yang saya pun pernah menuliskannya. Seorang Stephen Glass membuat berita hoax demi memperoleh "nama" di The New Republic, kantor publishing tempat ia bekerja. Bukannya reportase yang ia tulis, melainkan "dongeng" Hack Heaven. Tetapi, bagaimana pun tak ada kebohongan yang abadi. Bukannya nama baik yang diperoleh, justru kehancuran yang kemudian ia dapat.
Siapa pun bisa membuat dan/atau menyebarkan berita hoax. Mulai dari sekelas sms berantai bahwa tanggal 12 bulan 12 tahun 12 akan terjadi kiamat, hingga berita dari kantor pemberitaan pun tidak bisa menggaransi bahwa berita yang ia sampaikan sepenuhnya benar. Jika Anda pernah membaca koran atau majalah, jika terjadi salah isi berita atau salah ketik, ralat yang dilakukan hanya sekolom kecil sekali di bagian pojokan yang bisa jadi sedikit dari orang yang membacanya. Itu masih mendingan, bagaimana dengan media tv atau internet, apakah ada pernyataan ralat jika ada berita yang salah? Hampir tidak pernah saya mendengar pernyataan maaf dari mereka.
Siapa pun bisa membuat dan menyebarkan berita hoax. Dari orang perorang hingga perusahaan. Entah berita itu benar atau tidak, itu urusan belakangan. Jadi kita tidak bisa langsung memberikan penghakiman kalau media X beritanya tidak valid atau media X selalu benar. Kalau pakai domain begini dengan badan hukum begitu bisa dipertanggungjawabkan isi beritanya. Ah itu omong kosong, karena sekali lagi tidak ada garansi dari mereka kalau berita yang disampaikan bukan hoax. Anda lihatlah sendiri di media sosial, media massa mainstream mana saja yang terindikasi menyampaikan berita-berita bohong.
Pernah nonton film "Terpenjara di Udara"? Di sana kita tahu siapa pemilik media massa di Indonesia. Mereka siapa terkait dengan siapa dan bagaimana tendensinya? Yang mereka tahu hanya uang dan posisi mapan di negeri ini. Masalah benar atau tidaknya berita, sekali lagi tidak ada garansi.
Ketika pemerintah mengatakan jangan mudah termakan hoax, apakah mereka tersentuh? Tentu saja tidak. Ibarat kartel, mereka menyampaikan berita yang sama. Apakah kesamaan berita itu berarti beritanya benar? Tidak ada garansi. Lalu jika ada pihak yang membuat kelompok alternatif yang membuat berita apakah selalu salah? Atau mereka justru yang benar? Ini juga tidak ada garansi.
Ketika tidak ada satu pun yang bisa menggaransi isi beritanya, bagaimana dengan kita "konsumen" berita? Lukisan di atas, berjudul "I'm Feelin' Lucky" karya Indieguerillas yang ditampilkan di ajang ArtJog 2016. Lukisan tersebut menceritakan turbulensi informasi yang kita peroleh. Banyak informasi yang kita dapat tetapi tidak sepenuhnya kita serap dapat menimbulkan asumsi yang diyakini sebagai fakta. Dengan kata lain, kita adalah korban informasi prematur.
Informasi yang kita peroleh bukan sekedar apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi juga dipengaruhi berita apa yang ingin kita konsumsi. Sebagian dari kita sudah mengkotak-kotakkan otak kita sendiri. Jika berita tentang ini dan dari si ini pasti benar dan jika dari si itu tentang itu selalu salah. Orang lain pun demikian. Akhirnya, kita tidak lagi mencerna mana yang hoax dan mana yang berita.
Budaya literasi yang rendah sering dianggap penyebab prematurnya penyerapan informasi-informasi yang ada sehingga kita mudah menelan mentah-mentah adanya hoax. Benarkah demikian? Entahlah. Karena setiap berita tidak ada garansi kebenarannya, orang pintar pun bisa jadi korban karena mereka juga mengkonsumsi media massa.
Bagaimana mengahadapi dan/atau melawan hoax? Klarifikasi adalah yang terbaik. Tetapi bagaimana mengklarifikasi berita itu benar atau salah? Media mainstream pasti menulis berita yang sama. Media alternatif pasti menulis yang sebaliknya. Apakah kita harus terjun langsung ke lokasi agar tahu siapa yang benar dan siapa yang salah? Keburu mati kita. Entahlah bagaimana kita menghadapinya. Masalah di negeri ini terlalu sitemik. Masalah berita pun demikian. Berdoa saja semoga kita terhindar dari berita yang salah dan membuat langkah kita menjadi salah.
Blogger sebagai penyedia konten apakah terlepas dari hoax? Sekali lagi tidak ada garansi bahwa apa yang ada terlepas dari hoax. Semua kembali kepada attitude masing-masing blogger. Semoga kita sebagai blogger tidak bersikap pengecut dengan menuliskan berita yang tidak benar. :)
Hoax, saya langsung ingat film Shattered Glass, yang saya pun pernah menuliskannya. Seorang Stephen Glass membuat berita hoax demi memperoleh "nama" di The New Republic, kantor publishing tempat ia bekerja. Bukannya reportase yang ia tulis, melainkan "dongeng" Hack Heaven. Tetapi, bagaimana pun tak ada kebohongan yang abadi. Bukannya nama baik yang diperoleh, justru kehancuran yang kemudian ia dapat.
Siapa pun bisa membuat dan/atau menyebarkan berita hoax. Mulai dari sekelas sms berantai bahwa tanggal 12 bulan 12 tahun 12 akan terjadi kiamat, hingga berita dari kantor pemberitaan pun tidak bisa menggaransi bahwa berita yang ia sampaikan sepenuhnya benar. Jika Anda pernah membaca koran atau majalah, jika terjadi salah isi berita atau salah ketik, ralat yang dilakukan hanya sekolom kecil sekali di bagian pojokan yang bisa jadi sedikit dari orang yang membacanya. Itu masih mendingan, bagaimana dengan media tv atau internet, apakah ada pernyataan ralat jika ada berita yang salah? Hampir tidak pernah saya mendengar pernyataan maaf dari mereka.
Siapa pun bisa membuat dan menyebarkan berita hoax. Dari orang perorang hingga perusahaan. Entah berita itu benar atau tidak, itu urusan belakangan. Jadi kita tidak bisa langsung memberikan penghakiman kalau media X beritanya tidak valid atau media X selalu benar. Kalau pakai domain begini dengan badan hukum begitu bisa dipertanggungjawabkan isi beritanya. Ah itu omong kosong, karena sekali lagi tidak ada garansi dari mereka kalau berita yang disampaikan bukan hoax. Anda lihatlah sendiri di media sosial, media massa mainstream mana saja yang terindikasi menyampaikan berita-berita bohong.
Pernah nonton film "Terpenjara di Udara"? Di sana kita tahu siapa pemilik media massa di Indonesia. Mereka siapa terkait dengan siapa dan bagaimana tendensinya? Yang mereka tahu hanya uang dan posisi mapan di negeri ini. Masalah benar atau tidaknya berita, sekali lagi tidak ada garansi.
Ketika pemerintah mengatakan jangan mudah termakan hoax, apakah mereka tersentuh? Tentu saja tidak. Ibarat kartel, mereka menyampaikan berita yang sama. Apakah kesamaan berita itu berarti beritanya benar? Tidak ada garansi. Lalu jika ada pihak yang membuat kelompok alternatif yang membuat berita apakah selalu salah? Atau mereka justru yang benar? Ini juga tidak ada garansi.
Ketika tidak ada satu pun yang bisa menggaransi isi beritanya, bagaimana dengan kita "konsumen" berita? Lukisan di atas, berjudul "I'm Feelin' Lucky" karya Indieguerillas yang ditampilkan di ajang ArtJog 2016. Lukisan tersebut menceritakan turbulensi informasi yang kita peroleh. Banyak informasi yang kita dapat tetapi tidak sepenuhnya kita serap dapat menimbulkan asumsi yang diyakini sebagai fakta. Dengan kata lain, kita adalah korban informasi prematur.
Informasi yang kita peroleh bukan sekedar apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi juga dipengaruhi berita apa yang ingin kita konsumsi. Sebagian dari kita sudah mengkotak-kotakkan otak kita sendiri. Jika berita tentang ini dan dari si ini pasti benar dan jika dari si itu tentang itu selalu salah. Orang lain pun demikian. Akhirnya, kita tidak lagi mencerna mana yang hoax dan mana yang berita.
Budaya literasi yang rendah sering dianggap penyebab prematurnya penyerapan informasi-informasi yang ada sehingga kita mudah menelan mentah-mentah adanya hoax. Benarkah demikian? Entahlah. Karena setiap berita tidak ada garansi kebenarannya, orang pintar pun bisa jadi korban karena mereka juga mengkonsumsi media massa.
Bagaimana mengahadapi dan/atau melawan hoax? Klarifikasi adalah yang terbaik. Tetapi bagaimana mengklarifikasi berita itu benar atau salah? Media mainstream pasti menulis berita yang sama. Media alternatif pasti menulis yang sebaliknya. Apakah kita harus terjun langsung ke lokasi agar tahu siapa yang benar dan siapa yang salah? Keburu mati kita. Entahlah bagaimana kita menghadapinya. Masalah di negeri ini terlalu sitemik. Masalah berita pun demikian. Berdoa saja semoga kita terhindar dari berita yang salah dan membuat langkah kita menjadi salah.
Blogger sebagai penyedia konten apakah terlepas dari hoax? Sekali lagi tidak ada garansi bahwa apa yang ada terlepas dari hoax. Semua kembali kepada attitude masing-masing blogger. Semoga kita sebagai blogger tidak bersikap pengecut dengan menuliskan berita yang tidak benar. :)